Category Archives: Uncategorized

Two Plus Two Equals Five

What George Orwell wrote in his book Nineteen Eighty-Four is true, that the cruelest punishment for someone is not to be hanged, shot, beheaded, or stoned to death, the harshest punishment for someone is when their mind is washed, manipulated to distort facts so that the truth they did feels wrong, when their perception is altered, the actual reality is covered up – even completely eliminated -, when 2+2=5 and there is no smallest objection to it, at that moment, they will plead to be punished. The truest and cruelest punishment is to “be made to feel guilty”.

Keep In Touch Endasmu, Le!

“jangan putus silaturahmi ya”

“bro, keep in touch ya”

“kabarin bro kalau ditempat baru butuh karyawan”

“nitip CV dong”

Sekelebat pesan dan kesan yang biasanya disampaikan oleh rekan sekerja ketika rekan lainnya resign.

Yang terjadi setelahnya apa? Ya hidup masing-masing dong, janji-janji bual penuh basa-basi di hari terakhir ngantor untuk ngajak gabung, nitip CV, atau bawa gerbong cuma jadi bahan kelakar ringan biar ngga dibilang sombong aja, kenyataannya si rekan kerja yang pindah ke tempat baru dengan posisi yang bagus itu cuma akan jadi kenalan lama buat lo, yang nantinya, balas chat akan lama, ditanya kabar cuma sekadar jawab saja (ngga nanya balik), dan ketemuan untuk ngopi-ngopi cantik pun cuma jadi wacana yang tidak akan kunjung wujud karena rekan kerja lu itu mungkin ngerasa sudah ngga level main sama staff biasa kayak lu.

Pada akhirnya ya lu tetap harus berjuang sendirian, menangkap setiap kesempatan yang ada, beramah tamah dengan orang asing dan berharap bisa di jadikan karyawan, walaupun cuma kontrak.

Gue dulu nongkrong bareng Direktur, ya, Direktur, VP, Departemen Head, dan beberapa karyawan yang bukan hanya punya jabatan, tapi (ngakunya) punya akses sampai ke pejabat, komisaris, dan dewa-dewa pemilik saham, pun, ketika gue dipecat dan lagi luntang-lantung nyari kerjaan baru, mereka dimana? Ya, mereka sudah menikmati posisi baru, gaji lebih besar, dan tempat kerja yang lebih nyaman, seperti gue bilang diatas, balas WA lama, ditanya cuma sekadar jawab aja ngga ada pertanyaan balik, intinya tidak menunjukkan gelagat ketertarikan untuk bicara sama gue deh, apalagi untuk menolong sekadar kasih kabar ke HRD mereka, kan?

Begitulah ya, kadang, baik dan bermanfaat sama orang lain itu ngga cukup, karena itu yang gue rasakan, gue sama Direktur kenalan gue itu, sama VP, dan beberapa pemegang jabatan yang ngga mungkin gue sebutin namanya disini, akrab kok, bahkan, gue bermanfaat buat mereka, gue membantu mereka membuat desain-desain untuk urusan pribadinya mereka, gue mengerjakan pekerjaan yang bukan jadi tanggung jawab gue, tapi akhirnya, ternyata gue cuma alat, alat untuk memuaskan nafsu mereka dan mewujudkan mimpi mereka, gue di kendarai, di gagahi oleh para eksekutif biadab itu supaya mereka terkesan punya nama dan prestasi di mata para pemegang saham, terus gue dapet apa?

“Thanks ya Mas Eru!”

“Wah, lu emang jago Ru!”

Dan beberapa kelebat puja-puji tanpa makna, puja-puji yang tidak bisa membayarkan token listrik rumah gue, puja-puji yang tidak bisa membantu membayar sekolah anak gue.

Dari situ gue belajar, bahwa beneran deh, menjadi baik, jujur, dan bermanfaat bagi orang lain itu, tidak akan membawa lu kepada kesuksesan.

Gue diajarkan oleh pengalaman bahwa kalau lu mau sukses, maka jilatilah, jilatilah pantat atasan lu atau pantat-pantat orang berpengaruh itu sampai basah, manfaatkanlah orang-orang lemah yang ada dibawah lu, injak mereka, tipu mereka dengan janji-janji manis bahwa nanti kalau lu sudah menang proyek dan jadi besar maka akan lu berikan mereka jabatan dan gaji besar, hinakan mereka dengan lu ambil pekerjaan, keahlian, energi, dan waktu yang mereka punya, lalu apa? Lalu tinggalkan mereka, cuekin WA-nya, bila perlu block aja, dan tinggalkan mereka dalam kemiskinan, ngga usah bayar jasa atau hasil pekerjaan mereka!

Itulah yang gue alami, sepanjang tahun 2023 lalu, gue menjadi orang baik yang iya-iya aja, yang akhirnya, gue justru menceburkan diri kedalam kebangkrutan, yang membuat sesak nafas adalah, gue tidak hidup sendirian, gue punya anak-anak dan istri, yang akhirnya mereka adalah korban yang paling menderita.

Janji-janji posisi, jabatan, dan uang jutaan sebagai bayaran desain tinggallah janji, bahkan beberapa diantara biadab-biadab itu, malah nantangin ketika diminta bayaran, gue bukan ngga berani, tapi gue tau dan paham betul, ini zaman seperti zaman Pak Harto dulu, bikin urusan sama partai, kalau kita menang, maka mereka bawa massa, kalau kita kalah pun, mereka tetap bawa massa, gue cuma seorang desainer grafis yang ngga punya bekingan siapa-siapa selain Tuhan Yang Maha Esa, maka gue diam, terima semua caci maki, dusta, dan penghinaan itu dengan dada sesak, berharap Tuhan menolong, tapi entah kapan.

Heal-ing

Healing, a term that’s been making the rounds among us millennials. According to Gramedia, in slang, “healing” means healing or self-treatment. It’s all about the psychological healing of the soul, emotions, spirit, and mind. People usually toss around the word “healing” when they want to chill out from the issues life throws at them.

Now, healing isn’t just about jetting off to Bali, going international, taking selfies with the Statue of Liberty, and all that jazz.

Healing is about giving yourself a break, a breather from the grind of work, bills, and the struggles of post-30s life, which seems to be getting heavier by the day.

For me, healing is doing something with no rules, no briefings, and definitely no revisions! It’s about being totally free to do whatever, as long as it brings joy. And my go-to remedy for healing? Drawing.

Yep, like a teenager discovering art for the first time. Drawing lets me rediscover that spark within myself and reminds me,

“Hey, you’ve got this. Let’s move forward!”

So, where do we go for a bit of “healing”?

The artwork I created is a nod to the talented illustrator Jason Fabok. It’s not meant for any commercial gig—just personal vibes.

Tagged , , , , , , , , ,

Hewan Apa Yang Lapar?

Beberapa hari yang lalu, gue melontarkan sebuah tebak-tebakan ke beberapa orang, termasuk istri dan kedua anak gue, begini tebak-tebakannya:

“Hewan, hewan apa yang laper?”

Uniknya,

Dari ke-3 orang rekan di kantor dan istri gue yang berkisar antara umur 20-30-an tahun rata-rata bingung dengan pertanyaan ini, bahkan rekan gue dikantor sampai berkata

“Wah, ini pasti jebakan nih?”

Sementara ketika gue lontarkan tebakan ini ke anak-anak gue yang berumur 9 dan 5 tahun mereka dengan semangat menjawab secara random

Anak 9 tahun : RUSA!!!

Anak 5 tahun : IKAN!!!

Anak gue yang umur 9 tahun memang sempat bingung dan agak berfikir sebelum menjawab itu.

Dan kalian tahu?

Jawaban anak-anak gue itu : BENAR!

Toh pada dasarnya, semua hewan pasti lapar kan?

Ini seperti sebuah studi psikologi, dimana gue membuktikan bahwa semakin tua, kita (termasuk gue), cara berfikirnya semakin rumit.

Kalau menilik dari ilmu semiotika, keempat orang dewasa yang gue berikan pertanyaan itu (istri gue dan 3 orang rekan sekerja gue) berusaha menjawab pertanyaan yang gue lontarkan dengan berfikir keras, sampai akhirnya menyerah, kenapa? Karena pertanyaan yang gue lontarkan itu, anggaplah sebagai penanda dimana berdasarkan pengalaman, pemahaman, dan kebiasaan budaya yang ada di masyarakat sekitar dari ke-3 orang rekan kerja dan istri gue tumbuh dan berkembang, biasanya adalah pertanyaan yang jawabannya adalah jawaban konyol atau lucu yang mungkin tidak terpikirkan, jawaban seperti model plesetan khas tongkrongan atau pelawak-pelawak yang sering tampil di TV. Itu sebabnya, ke-4 orang yang gue berikan pertanyaan itu ngga kepikiran ngejawab pertanyaan itu dengan jawaban faktual, yang bukan cuma masuk akal, namun dirasa ngga ada lucu-lucunya sama sekali.

Begitulah, terkadang jawaban dari sebuah pertanyaan itu sederhana, sederhana sekali, hanya memang, kebanyakan orang (terutama orang dewasa) terbiasa berfikir di luar jangkauan, di luar kotak, mencari sesuatu yang sebenarnya ada loh terang-terangan di depan mata. Beda dengan anak-anak yang cara berfikirnya masih sangat sederhana sekali dan tanpa beban.

Jadi, apakah kamu menangkap leluconnya?

Pahala?

Seandainya pahala bisa ditukar dengan cash untuk melanjutkan hidup yang apa apa serba materi ini, niscaya semua orang akan berlomba-lomba berbuat kebaikan.

Namun sayang, pahala hanyalah konsep semu yang berupa imbalan tak kasat mata yang dijanjikan oleh sebuah kitab-yang katanya suci dan sudah berumur 1000 tahun lebih- yang diterjemahkan oleh seorang manusia-yang katanya utusan Tuhan- dan terus dilestarikan oleh orang-orang yang yakin betul, bahwa nanti, nanti akan ada sebuah hari pembalasan dimana kamu yang rajin komat kamit nunggang nungging dan masukin duit ke sebuah kotak hijau berjalan dan penyabar atas segala kesulitan dalam hidupmu dan diem aja ketika kamu dijahati atau di timpa kesialan, akan berada disebuah tempat yang indah dengan 7 bidadari yg menemani kamu yang bisa kamu pakai dan kembali perawan lagi dan susu serta madu yang tak habis-habis.

Hahahahaha…seperti sebuah dongeng untuk membodohi orang dungu yang sudah frustasi dengan hidup, ya?

The Bat Laugh

i’ve known Joker (batman arch enemy) for a very long time, a stand up comedian, poor stand up comedian, got stuck in his life and his carrier (as a comedian) nobody laugh for his joke (except his wife), in the middle of his crisis, his pregnant wife got hit by a car, died instantly, still, he can endure the pain, until one night on his way to rob money from a chemical industry where he was employed before, he got caught by a bunch of cops, and of course…The Batman, he ran as fast as he can while all of his criminal crews left him alone, he got slips and falls into a large drum of green chemical, drowned but unfortunately, he’s alive, that chemical somehow turned him into…well…his inner self, a comedian, that always find jokes in everything, a comedian, that got hit by the economy, trust, and life crisis, a comedian that played by destiny, losing instantly his beloved wife and his baby on car accident…somehow that green chemical turned him into…The Killing Joke…

it’s a summary of the graphic novel “Batman: The Killing Joke” written in 1988 by Alan Moore. This Graphic Novel is outstanding, the plot was great, the message in the story was awesome, but you know…no one in hollywood see this as a great story to tell, they just keep making a new story, ruining up my childhood…

Do You Really Hate It?

“i hate monday”

sebuah term populer yang sempat jadi momok di beberapa negara, namun benarkah kamu “membenci hari senin?” bukannya target berlebihan yang di tentukan bos mu? bukannya mulut dan kelakuan bos mu yang kamu benci? atau manajemen perusahaan yang berantakan? atau bonus yang tak kunjung turun? atau lalu lintas jalanan yang ngehek banget? (ga usah nunggu senin kalo lalu lintas mah) nampak nya senin cm jadi bemper, bantalan, dan kedok aja krn sesungguhnya yang kamu benci itu rutinitas kantoran yang memuakkan, segala topeng dan senyum palsu rekan sekerja, hedonisme tak perlu, dan perintah perintah mendadak yang selalu datang dekat dekat jam pulang, belum lagi segala kreditan mencekik yang bikin kamu mau ngga mau yaudahlah yah kerja daripada “miskin”, ke-tidak-sanggupan hidup bersahaja dalam selimut kesederhanaan, ke-tidak-sanggupan mendengar gunjing dari orang orang dekat perihal kamu yang ga punya ini itu…padahal kalau di pikir pikir pendapatanmu tidak lebih besar daripada tukang bubur ayam yang punya “jam kerja” lebih sedikit. Ironis.

Sedih tapi Benar.

Teman

Pernah ada temen yang bilang.
“Tambah tua pasti temen lo tambah dikit, coba aja deh buktiin”

Well…nampaknya baru kemarin itu terucap dari mulut temen gue, ternyata sekarang, di kepala 3 ini, gue buktiin, kalo memang benar adanya hal tersebut
.
Well, let’s break it down a lil’ bit.

Dulu waktu muda, gue main sama siapa aja, gua ga pandang bulu: pemadat, pemulung, anak jendral, semua gue temenin, ga ada harapan apa-apa, ga ada kuatir apa-apa, main sama anak orang miskin, ya gue prihatin sm keadaannya cm yaudah cuek, main sama anak orang kaya, ya gue amazed sama keadaannya cm yaudah cuek. Trus berjalan seperti itu sampe lulus kuliah dan mulai lah masuk ke “dunia nyata” apalagi setelah menikah dan punya anak, which is itu pertanda awal gue menjadi tua.

Memang awalnya gue mencoba meyakinkan diri kalo ga akan ada apa-apa lah, semua bakalan berjalan fine aja seperti layaknya waktu muda gue dulu, cuma ternyata ngga bisa, well, a little example aja: waktu gue dan anak-anak beserta istri gue main ke salah seorang temen yang keadaan finansial nya jauh diatas gue, gue fine, fine banget, ibarat kata mah “yaelah gue tau lo dari dulu bro!” tapi ternyata mulai muncul hal-hal yang ga bisa gue sangka, dari mulai ajakan ringan kayak “bro kita liburan bareng dong kapan-kapan, sekeluarga, nginep gitu, booking hotel mana kek” spontan gue jawab “hayuk aja!”

*lalu fast forward ke dalam mobil dalam perjalanan pulang*

istri : tadi diajak jalan-jalan nginep di hotel kapan?
gue: ngga tau deh, nanti dikabarin katanya
istri: emang ada uangnya? bayar cicilan “anu” aja udah berapa, trus belom susu, popok, blablabla
sampai suara istri gue pelan-pelan menjadi fade out, gue pun tenggelam dalam lamunan, seperti tersadarkan dari mimpi, gue bergumam dalam mirisnya hati,
“oiya…ya…gaji gue kan cuma segini, gimana caranya gue ajak anak2 sama istri gue liburan bareng sama si bro, sementara duitnya dia banyak, masa gue minta bayarin…yah kalo gue doang mah gpp, anak2 sama istri gue?”

dan berawal dari situ…hilang satu teman…bukan hilang yah sebenernya, cuma karena “kelas” kita udah beda aja, jadi ga mungkin gue bisa ngimbangin idupnya temen gue ini yang sekarang udah jadi kelas atas, sementara gue masih jadi kelas menengah…guenya kebanting, dan kasian anak-anak sama istri gue. Akhirnya, tanpa harus ngejauh pun, jadi jauh sendiri, si bro ini tetap berada dalam lingkaran kelas atasnya bersama dengan teman-temannya yang baru (yang tentu saja kelas atas juga) dan gue, yah…kerja…terus kerja…pergi pagi pulang malem cuma biar anak-anak bisa makan enak, supaya istri bisa tenang waktu ke pasar atau ke alfamart ga ketakutan duitnya kurang. Disyukuri aja, kalo bahasanya orang tua dulu mah. Lah emang siapa juga yang ngga bersyukur.

ini tentu saja bukan masalah bersyukur atau ngga bersyukur, cuma kadang yang suka bikin gue sedih adalah, bukan cuma satu kali kejadian seperti ini terjadi, dalam arti, gini, beberapa kali gue mencoba ngajak keluarga kecil gue untuk gabung sama temen-temen dari jaman dulu yang ternyata sekarang keadaan finansialnya udah jauuuh banget diatas gue, secara otomatis, terjauhkan, karena yah, obrolannya udah beda, mereka ngomongin pembantu, pengasuh, sekolah puluhan juta, sementara gue? duit bisa bertahan sampai akhir bulan aja udah Alhamdulillah banget, so, gue planga plongo aja gitu, kalo dengerin temen-temen borjuis ini ngomongin hal-hal (yang menurut gue) mewah. Alhasil selain guenya minder, mungkin merekanya juga ngerasa “ah si eru, manggut2 aja nih, ngerti ga sih dia?”.

Pada akhirnya, yah, gue aminkan dan buktikan, bahwa apa yang di bilang sama temen gue dulu itu memang betulan, bahwa “semakin tua, temen lo semakin sedikit” yang ngga gue abis pikir adalah…ternyata begitu caranya menjadi sedikit.

Only Tauhid Can Save Us

You know, you think you made changes by criticizing the government because the dollar rose, prices went up, etc., which you don’t understand is that there is a greater power out there that controls it all, let’s say, those dragon mafia and rothschild, so If you think this country is controlled by indigenous people, Javanese people, or Indonesian native people, it means that your way of thinking is far behind and it seems you really don’t understand how the world exactly runs. and no matter who wins in the election, be it soldiers, furniture makers, even scholars, they will still submit to the forces that are greater than them, greedy rulers and devil worshipers. Believe me, because only tauhid can help us.

the techpocalypse

sometimes i wonder, what if the techpocalypse (not the game) happens soon? what if it really hapens? and we’re forced to live our life just exactly like our ancestors, with bow and arrow and sword and farming and you have to ride a horse to go to indomaret or alfamart and you can see children playing outside, people talk to each other for real, i mean they really talk, yeah, they look into each others eyes and do the…talking…instead of looking down to a bright screen and play with their thumb, well…i think it’s kinda cool, right?

Tagged , , , ,