Category Archives: semiotics

Graphic Designer – Sebuah Profesi

“Kan cuma gambar doang”

“Yaudah, ambil aja dari google lah”

“Ini kok pecah ya gambarnya? bisa tolong diedit ngga biar ngga pecah?” *disaat gambar yang dikasih adalah thumbnail image 25X25 pixel dengan resolusi 72 Dpi dan pengen dijadiin image buat backdrop dengan ukuran 4X4 meter…well…i don’t know, langsung ngerasa beloon banget, 10 tahun nge-design tapi ngga bisa ngerubah image 25X25 pixel jadi ngga pecah di backdrop 4X4 meter*

Dan masih banyak lagi celetukan-celetukan soal design yang cukup menyakitkan dan menyinggung, semuanya adalah karena ketidak-mengertian beberapa orang terhadap profesi ini, yak betul profesi! nge-design yang menurut kalian (yang tidak mengerti) “asik”, “cuma gambar-gambar doang”, “cuma gitu doang” itu sebenernya profesi loh! serius deh, ada diluar sana cukup banyak orang yang hidup dan menghidupi keluarganya dengan melakukan perbuatan yang jarang sekali kalian hargai ini.

Dan sebagai informasi, seorang desainer grafis itu ngga “cuma” ngegambar doang loh, ada proses yang namanya brainstorming, sketching, mind mapping, sebuah proses cukup panjang dan menyita pikiran tentang bagaimana sebuah gambar itu bisa berkomunikasi dengan baik, tentang bagaimana sebuah gambar itu dapat dimaknai dan diartikan dari tiap-tiap garis dan bentuknya supaya menjadi satu kesatuan identitas yang utuh. Yang lebih hebatnya lagi, kami ini ngga cuma gambar-gambar doang, kami membuatnya dengan perhitungan dan presisi, biasanya kami gunakan golden ratio (rumus fibonacci).

Gue pernah mendengar seorang CEO berkata kepada Head Marketing-nya “yaudahlah, kan cuma gambar doang”, serius itu sangat menyakitkan dan sama sekali ngga relevan dengan kenyataan, kenapa? karena CEO itu memimpin sebuah perusahaan retail yang notabene-nya, butuh banget banyak material design, dari mulai flyer, poster, brosur, website, social media, gimmick, banner, baliho, dan sebaginya dan sebagainya, trus dia dengan entengnya, sombongnya, dan ketidak mengertiannya berani bilang “kan cuma gambar doang” dia ga sadar kalo team sales-nya setiap hari jerit-jerit minta design flyer, minta design poster, minta design gimmick, buat apa? buat alat jualan! karena sejago-jagonya sales nge-bacot, ngga akan bisa jualan tanpa “senjata” dan “senjata” satu-satunya bagi seorang sales adalah DESIGN! kebayang ngga? ada sales jago banget bacot, product knowledge khatam, rapih, necis, good looking banget, tapi jualannya pake selebaran bikin di word pake comic sans dan gambar item putih nyolong di google yang di transform tanpa shift, so meletat meletot deh tuh gambarnya, gue yakin, se yakin-yakinnya, semua penampilan dia diatas itu ngga bakal ngaruh sama sekali, karena apa? karena orang tuh males interaksi sama sales, orang kebanyakan pengennya “ada brosurnya ga mas? coba saya liat liat dulu”.

So, buat CEO, Head Marketing, atau siapapun elo, kalo masih ngejalanin bisnis yang tujuan utamanya buat bikin semua orang / kalangan beli produk elo, please, jangan remehin orang design, karena lo bukan cuma butuh orang design, tapi lo terikat dengan mereka, tanpa orang design, yang “ngedandanin” material jualan lo, bisnis lo sama aja kayak mahasiswa di lampu merah yang minta sumbangan pake box indomie.

Tagged , , , , , , , , , , ,

the techpocalypse

sometimes i wonder, what if the techpocalypse (not the game) happens soon? what if it really hapens? and we’re forced to live our life just exactly like our ancestors, with bow and arrow and sword and farming and you have to ride a horse to go to indomaret or alfamart and you can see children playing outside, people talk to each other for real, i mean they really talk, yeah, they look into each others eyes and do the…talking…instead of looking down to a bright screen and play with their thumb, well…i think it’s kinda cool, right?

Tagged , , , ,

Ada kalanya, satu reaksi, buat segalanya jadi berarti

“Ada kalanya satu reaksi, buat segalanya jadi berarti”

sebuah punch line dari TVC campaign-nya A mild yang baru, dan (buat saya) itu apik sekali.

Ini sih analisa subjektif aja yah, sekali lagi ini subjektif aja yah.

Saya lupa tepatnya kapan pertama kali saya melihat iklan ini, yang pasti alur dalam cerita iklan ini cukup jelas saya tangkap, seorang anak muda urakan, dengan tatanan rambut agak keriting tak terawat, dandanan seadanya (cenderung agak dekil) dengan style everlasting (style casual nyaman tanpa celana mengkerecet atau baju-baju hebring ala pria-pria hipster masa kini ibukota Jakarta) yang kurang lebihnya dapat dikategorikan ke dalam “anak design” atau “seniman” mungkin lebih tepatnya, di iklan ini diperlihatkan telah selesai membuat sesuatu dalam sebuah frame (umunya yang ada di frame itu yah lukisan atau foto, tapi entah juga mungkin kalo tab di masukkan ke dalam frame jadi kita bisa nonton film di dalam frame kan, tapi saya akan lebih senang menganalogikan, kalau yang berada dalam frame itu adalah GAMBAR), lalu dengan lucunya si pemuda diperlihatkan berkeliling kota, atau bisa di katakan berkeliling dunia untuk memperlihatkan kepada orang-orang mengenai isi dalam frame tersebut, ada beberapa scene lucu yang saya lihat dalam TVC ini, ada kalanya si pemuda urakan tampak memperlihatkan frame kepada turis di sebuah air terjun, dan mereka geleng-geleng, mungkin sebagai penanda mereka tidak tertarik, lalu ada kalanya si pemuda juga memperlihatkan isi dalam frame kepada para pekerja kontraktor dan mereka juga memperlihatkan tanda-tanda tidak tertarik, dengan menggelengkan kepala mereka, bahkan ketika si pemuda urakan memperlihatkan gambar kepada seekor illama, illama itu pun buang muka, namun si pemuda urakan terus berjalan dan berkeliling entah menawarkan atau sekedar memperlihatkan kepada orang-orang tentang isi di dalam frame yang dia bawa, hingga si pemuda urakan tiba di sebuah kota yang kalau saya lihat dari tatanan bangunan dan lingkungannya kota ini agak mirip italia atau paris kali yah, yah pokoknya antara itu deh, di kota ini si pemuda urakan memperlihatkan frame kepada seorang wanita yang sedang duduk di dalam restoran, namun si wanita lagi-lagi menggelengkan kepalanya sebagai penanda menolak atau tidak tertarik, di sini lah si pemuda tertunduk layu sambil berjalan gontai ketika ada seorang wanita lain yang juga dari dalam restoran tampak keluar mengejar si pemuda lalu meminta si pemuda memperlihatkan frame kepadanya, ekspresi yang di buat si wanita memberikan pertanda kalau si wanita tampak tertarik dan mereka berdua pun tersenyum, lalu scene berganti dengan latar jalan raya di sebuah gurun dengan si pemuda urakan berjalan di sisi bahu jalan dan ketika ada sebuah mobil yang dengan jelas terihat ada dua orang wanita di dalamnya melintas, si pemuda urakan mengangkat frame memperlihatkannya ke arah dua orang wanita di dalam mobil yang sedang melintas tersebut, kedua wanita mengangkat tangannya menandakan seperti mereka peduli dan menunjukkan ekspresi kegembiraan, kamera zoom in ke wajah si pemuda urakan yang menampakkan ekspresi kepuasan lalu VO dengan copy write

“ada kalanya satu reaksi buat segalanya jadi berarti”

nah, abis deh TVC nya, mungkin untuk sebagian orang akan berfikir
“ih apaan sih nih iklan? Ngga jelas!”
atau sebagian lagi mungkin akan menilai
“wuih gila a mild buat iklan rokok aja sampe pake bule trus kayaknya keliling dunia tuh! Itu kan air terjunnya niagara falls, trus itu kan restoran kayak gitu ga ada tuh di Indonesia blablabla”
atau juga yang akan langsung mengganti saluran televisinya sambil mengeluh “ah elah lama banget sih iklannya”
tapi buat saya, ini iklan adalah sebuah cerminan, adalah sebuah keadaan yang saya sendiri pun (berdasarkan analisa subjektif saya yah tentunya) merasakan betul apa yang si pemuda urakan di atas rasakan. Kalau saya memposisikan diri saya sebagai si pemuda urakan maka akan saya dapati sebuah alur dimana :
saya, sebagai seorang self taught graphic designer (desain grafis yang belajar sendiri) atau dengan kata lain anak desain tanpa sejarah kepemilikan ijasah DKV dan tentunya embel-embel sarjana seni, yang baru saja selesai membuat sebuah karya kecil-kecilan (biasanya karya kecil-kecilan ini adalah sebuah tracing vector painting atau tracing digital painting atau hanya sekedar typhography yang memang langganan saya buat sebagai sarana untuk memperdalam ilmu desain saya, mengembangkanya, mengasah insting, dan tentunya sebagai sarana untuk promosi supaya bisa dapat kerjaan sampingan) kecenderungannya karya itu akan saya promosikan lewat website-website online portfolio, atau website-website populer lainnya, seperti deviantart.com, tumblr.com, behance.net, atau website-website blogging seperti wordpress dan blogspot, dan belakangan juga saya banyak mempromosikan karya-karya saya lewat instgram, nah setelah karya-karya saya masuk ke dalam web-web diatas, itulah saat dimana saya menunggu dengan penuh pertanyaan, menanti, dan mulai ketar-ketir, apakah orang-orang akan ada yang menghargai karya saya? Sekedar nge-reblog, nge-like, atau syukur-syukur comment positif soal karya yang sudah sya masukkan itu, dari sini apa kalian menangkap korelasinya?
Kegiatan saya yang meng-upload itu kan judulnya di website yah, di www (world wide web) yang notabene akan dapat dilihat oleh orang banyak, di seluruh belahan dunia, dengan catatan si orang itu punya akses internet, nah itu di gambarkan sangat jelas di dalam iklan a mild, dengan si pemuda yang berkeliling dunia memperlihatkan frame (atau isinya) ke orang-orang di seluruh dunia (sebenernya ini gue ngga bisa bilang seluruh dunia yah, cuma kan dari setting latarnya yang berubah-ubah kita bisa lihat kalau memang beda-beda, ada gurun pasir, ada bangunan tua khas Eropa, ada air terjun niagara, ada kontainer-kontainer di pelabuhan, dsb)

Saya rasa itulah cerminan yang berusaha di buat A mild dalam campaign TVC mereka yang baru itu, bagaimana kita (karena saya yakin, yang melakukan hal seperti saya di atas bukan cuma saya) baik sebagai desainer yang belajar sendiri ataupun desainer yang memiliki ijasah, sebagian besar pasti pernah berada dalam posisi si pemuda urakan, posisi dimana kita sudah membuat dengan serius sebuah karya sebagai “amunisi” yang kita buat untuk masuk lebih dalam ke industri kreatif ini.
Jadi kalau boleh saya gambarkan secara harafiah dan sempit menurut subjektifnya saya mungkin begini yah, si pemuda urakan adalah seorang seniman grafis yang baru saja menyelesaikan sebuah karya yang (menurut dia, apik) tentunya kalau dalam kehidupan nyata kita tidak mungkin juga kan bawa-bawa hasil cetakan keliling dunia cuma buat nanya ke orang-orang “pak menurut bapak ini gimana?”, jadi scene dimana si pemuda urakan keliling dunia untuk memperlihatkan karyanya ke orang-orang itu mungkin realistisnya adalah kita yang meng-upload karya kita ke deviantart, behance, tumblr, blog, fb, instagram, dsb yang memang secara tersirat kita ingin orang-orang melihat, mengapresiasi, atau syukur-syukur ada yang mau bayarin karya kita itu ya, ngga?

Luar biasa memang, keterbatasan yang di ciptakan undang-undang pariwara di negeri ini, membuat para pekerja kreatifnya bener-bener berfikir luar biasa untuk bisa membuat sebuah TVC kampanye periklanan, dan memang kok, rokok a mild itu lekat sekali hubungannya sama anak-anak muda yang berjiwa bebas, kurang lebih anti mainstream, penuh dengan terobosan, ngga suka diatur-atur, sedikit rebel, dan lain lain.

Sekian dari saya, udah mau jam 12 malem, sebatang dulu terus tidur…

Tagged , , , , , ,

Hidup-Mati Sebuah Brand

Brand, atau biasa kita panggil dengan sebutan “merek” atau “merk” tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, manusia modern lebih pastinya. Seluruh badan kita hampir semuanya adalah merek, setiap hari kita menjadi alat promosi bagi brand yang kita pakai. Benarkah? Tentu saja, coba saja kamu berkaca pada dirimu, sering sekali kita melihat kawan kita yang pakaiannya bagus, mentereng, trendy, dan funky kan? Dan pasti sering juga diantara kita yang tanpa segan bertanya tentang salah satu, salah dua, ataupun seluruh pakaian yang dia kenakan
Si A : sobh, sepatu lu keren deh, beli dimana sobh?
Si B : oh ini, gue beli di ZARA sobh
Si A : ooh…keren…keren
Kurang lebih contohnya seperti itu, Si B tinggal sebut saja merek dagangnya, langsung kita tahu, dan seketika itu tertanam di kepala kita “kalo mau beli sepatu toko pertama yang bakal gue satronin ya ZARA”, paling tidak begitu dalam kasus gue, suatu ketika pernah gue beli sepatu yang menurut beberapa temen gue bagus, dari beberapa orang ini lalu ada satu yang bener-bener jatuh hati sama sepatu gue dan laju lah dia menuju toko tempat gue beli itu sepatu. Begitulah kurang lebih peran brand dalam kehidupan manusia, kebanyakan dari kita mungkin tak sadar akan hal ini, namun ini benar terjadi. Merek dagang berfungsi sebagai alat, untuk semua, yah paling tidak, hampir semua, untuk menunjukkan diri, untuk menjadi bagian dari satu kelompok, atau hanya sekedar hobi dan yang paling sering adalah pamer-pamer.
Dulu waktu belajar tentang teori-teori periklanan, beberapa hal yang gue inget salah satunya adalah tingkat-tingkat brand, dimana di situ ada tahap pengenalan, lalu ada tahap pengukuhan, dan terakhir ada tahap pendewasaan, tahap yang paling susah adalah tentu saja tahap pengenalan, di sini lah sebuah Brand harus benar-benar mati-matian menjaga image dan kualitasya untuk bisa “dianggap” oleh masyarakat, terutama adalah target marketnya si brand itu sendiri, di sinilah perusahaan “membuang” bermiliar-miliar untuk sewa segala macam agensi kreatif hingga ahli PR dan marketing communication untuk mengkampanyekan brand mereka supaya masyarakat mau menjadi pelanggan tetap brandnya tersebut. Lalu yang kedua ada pula tahap pengukuhan, dimana dalam tahap ini ya si Brand tadi itu sudah cukup di kenal lah, perusahaan mulai bisa menghemat sedikit budget pada komunikasi pemasaran, namun disini lah hal paling berat, di mana perusahaan harus mengoptimalkan operasional dan kualitas, ibaratnya ya, kalo menurut gue nih, tahap ini ya tahap paling ringkih lah, sedikit aja ada yang cacat, ya baik itu dari pelayanan teknis dan sistem nya, manajemennya, atau pelayanan konsumennya, pasti cepet ancur deh tuh perusahaan, gue menemukan analisa di salah satu provider internet di Indonesia, sebut saja “teman pintar” provider ini iklannya begitu apik, manggugah selera dan mantap, sehingga gue terbuai untuk menggunakan jasa provider ini, selain daripada iklan yang luar biasa ternyata penggunaannya juga sangat mudah, tinggal colok dongle nya ke laptop atau PC lalu tekan konek dan kita bisa internetan (awalnya sih gitu), beberapa bulan awal gue pake ini si “teman pintar” gue masih menemukan lemot-lemot wajar, gue masiih menikmati menggunakan layanan internetnya, namun setelah semakin lama, ke-lemot-annya semakin tak terbendung, semakin menggila, bagaimana tidak? Gue nyalain modemnya, lalu gue buka www.yahoo.com trus gue tinggal ganti baju, minum, dan makan, pas gue balik ke laptop gue, apa yang terjadi? Layar google chrome gue masih blank dan indikasi loading nya masih muter-muter ga karuan. Otomatis simpulan gue terhadap si “teman pintar” ini apa? Mereka GAGAL! Okelah mereka berhasil dalam tahap pengenalan, mereka bikin komunikasi marketing yang yahud banget, oke punya, gokil se gokil gokil nya, namun ketika penggunanya sudah banyak dan rame, apa yang terjadi? Mereka tidak bisa mempertahankan kualitas itu, dan yang bikin gue tambah kecewa adalah apa? Mereka menggunakan slogan “i hate slow” hampir di semua kampanye mereka, tentu saja bukan slogan “i hate slow” yang di bubuhi tanda bintang yang di bawahnya di tulisi “syarat dan ketentuan berlaku : kecepatan maksimal hanya di dapat kalau anda isi paket yang sejuta ya, kalo cuma dua ratus ribu ya jangan harap”, padahal gue ingat betul bahwa iklan itu hanya boleh mendramatisir tapi tidak boleh bohong.
Dan tahap ketiga adalah tahap pendewasaan, di sini lah tahap yang susah-susah gampang, tetep sih intinya di menjaga kualitas itu tadi, karena di tahap ini biasanya si brand sudah mencapai top of mind targetnya, disini biasanya brand itu sudah dianggap melekat pada diri si penggunanya, lihat saja aqua, terlalu kuat brain storm produk ini sehingga penggunaan majas metonimia atas brand ini hampir selalu terjadi
Si A : mas pesen nasi goreng
Si B : minumnya apa?
Si A : aqua aja mas, dingin
*si B datang dengan membawa ades*
mindset orang-orang sudah kuat dan kental sekali bahwa air mineral itu ya aqua, walaupun yang mereka jual adalah produk merek dagang yang lain, ini pernah terjadi sama gue dulu waktu di kampus, suatu siang gue dateng ke warung langganan gue dengan maksud mau makan, ketika di tanya minumnya apa, gue sontak jawab aqua dingin ya, trus si mas-mas nya malah bawain ades atau apa gitu, gue sampe protes, ini kan bukan aqua mas, saya kan minta aqua, dan konyolnya dia bersikeras, dengan bilang “lah kan isinya sama-sama air putih” gue pun ga mau kalah dengan bilang “iya tapi kan gue pesen aqua bukan pesen AIR MINERAL” cuma karena si mas-mas keras kepala ini bilang dia ga nyetok aqua dan gue udah sangat haus jadilah gue tetep ambil itu air mineral merek lain. Dari situ kita tentu melihat bagaimana sebuah brand menjadi unggulan bagi masyarakat, sampai-sampai kebanyakan dari kita enggan untuk menyebutkan “air mineral” ketika sedang makan di warung tenda, kebanyakan dari kita menyebutkan langsung secara gamblang “aqua”.
Nah lebih dalam lagi tentang brand ini adalah gue ingin membahas nasib sebuah brand ketika brand itu sudah melewati tahap pendewasaan, beberapa ada yang mati mengenaskan, beberapa lagi ada yang menjadi sebuah culture, sebuah pencirian atas suatu golongan tertentu, dan beberapa lagi ada yang mengulangnya dari awal dengan re-brand-ing pembaharuan logo dan sebagainya.
 
________________________________________________________________________
 
Di atas gue sudah menceritakan tentang perjalanan sebuah brand hingga menjadi di kenal luas di masyarakat, nah sampe tahap mana tuh tadi? Pendewasaan yah? Nah ketika sebuah brand sudah mencapai kepada tahap pendewasaan, brand tersebut akan menjadi dikenal sangat luas oleh masyarakat bahkan tidak menutup kemungkinan brand tersebut akan menjadi icon, menjadi sebuah kata ganti untuk menjelaskan sebuah benda, seperti tadi misalnya, orang-orang menyebut air mineral dengan “aqua” padahal aqua bukanlah satu-satunya brand yang menjual air mineral dalam kemasan.
Ada satu hal yang menarik gue, suatu ketika dulu kampanye teh botol sosro pernah menyebutkan bahwa “apapun makanannya, minumnya teh botol sosro” ini kampanye yang sangat berhasil, setiap gue makan di warung-warung tenda selalu gue perhatiin banyak orang yang minumnya teh botol sosro, namun siapa nyana, siapa nyangka, sekarang, dengan berhentinya kampanye itu, dan muncul teh yang baru dengan rasa yang jujur saja lebih enak, teh botol sosro pelan-pelan di tinggalkan, perlahan brand itu menjadi “tidak terlalu populer” di kalangan masyarakat.
Memang yah untuk mempertahankan kehidupan sebuah brand di perlukan keyakinan dan pengendalian atas kualitas yang cukup, karena pada akhirnya masyarakat tidak akan lagi terbuai oleh iklan-iklan yang dibuat para agensi-agensi canggih itu, pada akhirnya nilai plus dari suatu produk adalah kualitas dari produknya itu sendiri, coba lihat converse all star, sepatu ini awal pertama kalinya dipakai main basket loh, tapi sekarang? Anak kecil orang biasa sampe musisi ternama dunia make ini sepatu, bahkan film-film hollywood box office yang menggunakan pemeran remaja rata-rata pasti wardrobe nya converse all star, padahal yah, sepatu ini tidak terlalu menambah kualitas kalo gue bilang, kenapa? Sekarang ini sepatu kan awal mulanya buat basket, so pasti ini sepatu emang di design kuat kan, pasti dong. Dengan bahan kanvas sepatu ini sesungguhnya cenderung bikin kaki “gerah” kalau di gunakan, bikin kaki agak sakit kalo digunakan sering-sering, namun, citra yang melekat sama converse ini yang membuat orang-orang enggan dan cenderung tidak akan meninggalkan sepatu ini, tentu saja di awali dari design sepatu yang sederhana dan ever lasting, dan keinginan secara sukarela para pesohor-pesohor legendaris untuk menjadikan sepatu ini sepatu favoritnya.
Menilik dari situ, gue melihat bahwa ini adalah suatu penambahan, maksudnya bukan lagi brand mencapai tahap pendewasaan diri yah, tapi disini brand sudah menjadi sebuah budaya, sebuah mitos di kalangan masyarakat, bicara converse tidak akan lepas dari era, era hitam putih, era hippies, era grunge, post rock, alternative, rock, era dugem sampai era dimana iphone dan samsung saling bertarung untuk menjadi produsen telepon-genggam-layar-sentuh yang paling pintar, sampai-sampai ada beberapa golongan yang mengindikasikan legenda ke dalam brand converse itu sendiri, seperti kalau lo pake sepatu converse item tinggi yang belel kadang-kadang kan suka dibilanginn gini “wuih cobain banget lo” dan masih banyak lagi hal yang lainnya.
Ini adalah tentunya impian bagi semua brand, dimana seluruh dunia beriklan untuk brand nya itu, secara suka rela, dimana semua orang dari yang orang biasa, pesohor, bahkan mungkin sampai pejabat secara sadar memilih sebuah brand untuk mereka kenakan sehari-hari dengan bangga, tanpa ada paksaan sama sekali, dan tanpa ada bayaran sama sekali.
Tagged , , , , , , ,